Panorama
Waktu
Aku lemparkan tubuhku dalam
lautan kesunyian yang menggigilkan rupa keberadaanku. Dengan kedalaman lautan
tak bertepi. Harihari menjadi lipatan waktu yang tak tersentuh alam pikir,
menelan segala kenang masa lalu: masa kanak-kanak. Digilas oleh panorama waktu
yang menjelma mitos sejarah. Kumasuki negeri asing, dengan sunyi yang
diam-diam, kutemukan wajahku yang tak serupa dengan wajahku. Oh, alangkah
asingnya wajah ini!
Kupotong wajah itu dengan pisau
perantuan, lalu kuambil wajah itu kumasukkan dalam celah-celah wajahku untuk
melangkapi elok rupaku, tapi tak jadi-jadi juga. Di karang-karang kutemukan
mata penuh api membakar, melelehkan kepala. Oh, alangkah pedihnya tubuh ini!
Pernah sekali kau ulurkan tali
halus: sehalus sutra. Tubuhku tak bisa terjamah oleh seutas tali; ia liar, buas
dan kejam! Jangan kau sentuh tubuh yang liar ini. biarlah ia pada
pengasingannya sediri.
Dan tak punya tubuh, dan tak
punya kaki, dan tak punya tangan. Kurenangi laut, kupanjat sejarah yang melilit
pada waktu. Api itu terus membakar hatiku. Sakitkah? Pedihkah? Kematian? Surga?
Neraka? Atau taman cinta?
Diselah-salah gelap malam
kutemukan tubuh kemerdekaan telah menjadi bangkai kenagan masa silam, baunya
sangat menyengat para pujangga yang lalu-lalang dipersimpangan kiri jalan,
tergelatak pada huruf-huruf air mata. Kupikir aku bisa merengkainya dengan hati
yang tulus dan kerja keras.
Api itu terus menjilati
tubuhku, perlahan lahan juga menjilati tubuhmu. Sampai semua sirna menjadi abu
yang dengan sederhana diterbangkan oleh angin.
Oh, tubuh. Oh, kemerdekaan!
Alangkah malang nasibmu.
Yogyakarta; juni 2013
Begitulah
Waktu Memahat Hidup
Lihatlah! Kita telah melakukan
perlawanan. Oh, betapa hebatnya kita dengan wajah yang tampak tolol, memainkan
pedang waktu, seolah tak mengenal lelah dan putus asa dan kematian! Layaknya
kita menyerupai pahlawan dungu atau pahlawan kesiangan. Mencari musuh pada
bayang-bayang kemerdekaan. Tapi, lihatlah! Kita selalu kalah. Kita kalah,
semangat membeku bersama irisan waktu!.
Kita hanya mengejar angan utuk
sekedar meracik tanda bahwa kita belum merdeka. Tanda yang tak pernah
tersampaikan. Kita yang meracik tanda, kita yang membacanya, olehnya itu kita
pulalah yang mengertinya. Seperti orang gila menghitung tetes hujan yang jatuh
ke bumi.
Kita telah merasa mampu
melakukan segalanya, dengan suara yang lantang dan kepalan tangan kiri keatas.
Terik matahari menjadi ujian. Tapi matahari tak punya telinga tuk mendengar
suara. Dan kita tatap begini adanya; tak punya apa-apa. Orang bilang kita telah
gila. Dan kita begitu merasa yatim piatu.
Kita kian terasing dari
kata-kata dan segalanya, kita terseok dan terpuruk dan bungkam mengikuti waktu
tapi waktu tak lagi peduli serta dunia semakin pudar. Kita menjadi terdakwa
dari sejarah yang adil. Oh, alangkah tololnya.
Dan begitulah waktu memahat
hidup
Menulis nasib.
Yogyakarta 08 Jun. 13
Sibuta
Dari Negeri Asing
Aku lebih gelap dari malam, tak
mampu melihat kebaikan dan kejahatan, atau aku berada diantara keduanya; adalah
kebaikan dan kejahatan. Berikan aku hatimu menuju cahaya cintamu. Akulah sibuta
dari negeri asing. Melangkah ragu menuju persimpangan antara masa lalu dan masa
depan, menyusuri gelap dan terang. Yang ada hanya warna kelam yang
berlapis-lapis dan selebihnya adalah waktu.
Sesekali aku ingin memanjat
matahari mengintip tuhan semedi pada tempat persembunyiannya. Yang kulihat
hanya sekelompok manusia tak berwajah sedang bermain kelereng. Kemana tuhan?
Aku ingin mengambil matanya. Dimana tempat semedinya? Ah, tuhan tak ada, pun
semedi tak ada.
Aduh, saat itu aku ambil
matahari, lalu kutempelkan pada mataku untuk melihat malam. Tapi tak juga aku
bisa menyantuh malam, hanya sesekali malam titip salam pada senja. Mataku
meleleh, dan badanku dan jantungku. Inilah aku yang hanya menghamba pada
bayangan kesunyian.
Sebelum semua rahasia terungkap
dan tak ada lagi yang bisa dirahasiakan. Berikan aku cahayamu dan buat saya tak
bisa hidup dan tak bisa mati!
Yogyakarta 09 Jun. 13