Selasa, 09 Juni 2015

puisi

Panorama Waktu
Aku lemparkan tubuhku dalam lautan kesunyian yang menggigilkan rupa keberadaanku. Dengan kedalaman lautan tak bertepi. Harihari menjadi lipatan waktu yang tak tersentuh alam pikir, menelan segala kenang masa lalu: masa kanak-kanak. Digilas oleh panorama waktu yang menjelma mitos sejarah. Kumasuki negeri asing, dengan sunyi yang diam-diam, kutemukan wajahku yang tak serupa dengan wajahku. Oh, alangkah asingnya wajah ini!
Kupotong wajah itu dengan pisau perantuan, lalu kuambil wajah itu kumasukkan dalam celah-celah wajahku untuk melangkapi elok rupaku, tapi tak jadi-jadi juga. Di karang-karang kutemukan mata penuh api membakar, melelehkan kepala. Oh, alangkah pedihnya tubuh ini!
Pernah sekali kau ulurkan tali halus: sehalus sutra. Tubuhku tak bisa terjamah oleh seutas tali; ia liar, buas dan kejam! Jangan kau sentuh tubuh yang liar ini. biarlah ia pada pengasingannya sediri.
Dan tak punya tubuh, dan tak punya kaki, dan tak punya tangan. Kurenangi laut, kupanjat sejarah yang melilit pada waktu. Api itu terus membakar hatiku. Sakitkah? Pedihkah? Kematian? Surga? Neraka? Atau taman cinta?
Diselah-salah gelap malam kutemukan tubuh kemerdekaan telah menjadi bangkai kenagan masa silam, baunya sangat menyengat para pujangga yang lalu-lalang dipersimpangan kiri jalan, tergelatak pada huruf-huruf air mata. Kupikir aku bisa merengkainya dengan hati yang tulus dan kerja keras.
Api itu terus menjilati tubuhku, perlahan lahan juga menjilati tubuhmu. Sampai semua sirna menjadi abu yang dengan sederhana diterbangkan oleh angin.
Oh, tubuh. Oh, kemerdekaan! Alangkah malang nasibmu.
Yogyakarta; juni 2013

Begitulah Waktu Memahat Hidup
Lihatlah! Kita telah melakukan perlawanan. Oh, betapa hebatnya kita dengan wajah yang tampak tolol, memainkan pedang waktu, seolah tak mengenal lelah dan putus asa dan kematian! Layaknya kita menyerupai pahlawan dungu atau pahlawan kesiangan. Mencari musuh pada bayang-bayang kemerdekaan. Tapi, lihatlah! Kita selalu kalah. Kita kalah, semangat membeku bersama irisan waktu!.
Kita hanya mengejar angan utuk sekedar meracik tanda bahwa kita belum merdeka. Tanda yang tak pernah tersampaikan. Kita yang meracik tanda, kita yang membacanya, olehnya itu kita pulalah yang mengertinya. Seperti orang gila menghitung tetes hujan yang jatuh ke bumi.
Kita telah merasa mampu melakukan segalanya, dengan suara yang lantang dan kepalan tangan kiri keatas. Terik matahari menjadi ujian. Tapi matahari tak punya telinga tuk mendengar suara. Dan kita tatap begini adanya; tak punya apa-apa. Orang bilang kita telah gila. Dan kita begitu merasa yatim piatu.
Kita kian terasing dari kata-kata dan segalanya, kita terseok dan terpuruk dan bungkam mengikuti waktu tapi waktu tak lagi peduli serta dunia semakin pudar. Kita menjadi terdakwa dari sejarah yang adil. Oh, alangkah tololnya.
Dan begitulah waktu memahat hidup
Menulis nasib.
Yogyakarta 08 Jun. 13

Sibuta Dari Negeri Asing
Aku lebih gelap dari malam, tak mampu melihat kebaikan dan kejahatan, atau aku berada diantara keduanya; adalah kebaikan dan kejahatan. Berikan aku hatimu menuju cahaya cintamu. Akulah sibuta dari negeri asing. Melangkah ragu menuju persimpangan antara masa lalu dan masa depan, menyusuri gelap dan terang. Yang ada hanya warna kelam yang berlapis-lapis dan selebihnya adalah waktu.
Sesekali aku ingin memanjat matahari mengintip tuhan semedi pada tempat persembunyiannya. Yang kulihat hanya sekelompok manusia tak berwajah sedang bermain kelereng. Kemana tuhan? Aku ingin mengambil matanya. Dimana tempat semedinya? Ah, tuhan tak ada, pun semedi tak ada.
Aduh, saat itu aku ambil matahari, lalu kutempelkan pada mataku untuk melihat malam. Tapi tak juga aku bisa menyantuh malam, hanya sesekali malam titip salam pada senja. Mataku meleleh, dan badanku dan jantungku. Inilah aku yang hanya menghamba pada bayangan kesunyian.
Sebelum semua rahasia terungkap dan tak ada lagi yang bisa dirahasiakan. Berikan aku cahayamu dan buat saya tak bisa hidup dan tak bisa mati!
Yogyakarta 09 Jun. 13

cerpen dunia sopie


DUNIA SOPIE
 Seorang anak berumur 14 tahun belajar filsafat yang bermula dari seseorang mengirimi surat yang tampa nama (surat misterius), suatu ketika dia datang dari sekolah melihat tempat surat karna biasanya dia mendapat surat dari ayahnya yang bekerja sebagai nahkoda kapal, ayahnaya menghabiskan waktu di kapal bersama dengan anak bawahannya.
  Dia muelihat kotak surat, dia mendapat surat dari ayahnya dan beberapa surat dari bank untuk  ibunya, di sela-sela surat itu terdapat surat yang tertulis namanya sopie amunsond surat itu tanpa asal dan nama pengirimnya, sopie masuk kerumahnya menyinpan surat yang untuk ibunya di meja makan kecuali surat dari ayahnya dan surat misterius yang dia temukan di kotak surat lalu membawa kekamarnya.
 Untuk menutupi rasa penasarannya, sopie membuka surat misterius itu dan mendapat tulisan pendek yang hanya ada dua kata:  siapa kamu?.
 Sopie sangat bingun dengan kata yang tertera di surat itu, dia selalu memikirkan kata-kata itu, Sopie masuk kemar mandi untuk bercermin dan melihat bayangan yang mirip dengannya yang ada di dalam cermin  dia menanyakan kepada cermin itu sipakah kamu apakah “kamu adalah aku atau aku adalah kamu” namun bayangan itu tidak menjawab apa-apa,sopie makin pusing dia menggerakkan tangannya orang yang ada dalam cermin itu mengikuti gerakan yang dilakukan oleh sopie .
 Waktu itu, jam 5 sore ibunya datang dari bekerja, sopie mendorong ibunya ke sofa lalu menanyakan kepada ibunya siapakah aku dan siapah kamu, ibunya kaget lalu lalu bertanya  obat apa sudah kamu minum, jangan-jangan kamu sudah ikut pergaulan bebas jangan kamu ikut-ikutan dengan orang yang tidak berpendidikan.
 Sopie tersenyum lalu bertanya sipakah aku, ibunya menjawab kamu adalah sopie anak dari amunsond, Sopie tidak menganggap itu adalah jawaban yang tepat, Sopie masuk kekamarnya lalu untuk mengerjakan tugas dari sekolahnya, namun dia selalu mengingat surat itu, dia meninggalkan bukunya di kamarnya lalu pergi ketempat surat lagi dengan harapan dia mendapat surat penjelasan dari orang yang mengrimi surat, dia membuka kotak surat dan mendapatkan surat yang sama mesteriusnya dengan surat yang pertama yang dia dapatkan namun dia tidak mendapatkan seperti apa yang diinginkannya namun mendapat tambahan pertanyaan yaitu: Dari mana datangnya dunia?.
 Pertanyaan itu menambah kebingungan Sopie, sopie pergi ketempat persembunyiannya, di samping rumah sopie ada semak-semak yang selalu menjadi tempat sopie ketika dia senang senang, sedih, namun kali ini sopie pergi ketempat iu danga membawa kebingungan.
 Sopie membuka lagi surat mesterius itu , siapa kamu dan dari mana datangnya dumia, sopie tidak mempunyai gagasan kecuali yang di ketahuinya bahwa dunia adalah pelanet kecil di angkasa, di dalam hatinya timbul sebuah pertanyaan dari manakah angkasa itu berasal? Tapi kalau bumi itu berasal dari angkasa maka angkasa itu pasti berasal dari sesuatu yang lain dan pasti lagi sesuatu itu berasal dari sesuatu yang lain lagi, sopie makin pusing, dia mencoba menghibur dirinya dengan pelajaran yang didapat dari sekolah bahwa tuhan menciptakan segala sesuatu, namun di dalam hatinya muncul protes kalau tuhan menciptakan segala sesuatu  lalu bagaimana dengan dirinya sendiri? Akankah dia mencipakan dirinya dari ketiadaan.
 Oooh persetan!
 Dia membuka kedua amplop itu lagi.
 Siapa kamu?
 Dari mana bumi  ini berasal?
Surat misterius datang lagi:
 pertanyaan-pertanyan itu adalah pertanyan  para filosofis karna mereka yakin bahwa filsafat itu muncul dari rasa keingin tahuan manusia, sopieku sayang di dunia ini semua orang mempunyai hobi, ada yang hobinya membaca, hobinya berolahraga, mengurus batu akik, namun ketika saya suka membaca saya tidak bisa memaksakan orang lain untuk ikut denga hobiku dan mungkin saja orang lain menganggap membaca itu adalah sesuatu yang paling membosankan, namu adakah sesuatu yang bisa membuat semua orang suka.
 Kita tidak perlu memikirkan hal yang seperti itu, banyak hal yang luar biasa yang harus kita pikirkan, kita tahu bahwa kita tercipta dari sesuatu dari sesuatu yang lain, namun sesuatu yang lain itu dari mana?
 Jangan-jangan kita seperti seekor kelinci yang ditarik keluara dari dari topi sang pesulap yang sudah diperlihatkan kepada penononton bahwa topi itu kosong, namun kita tahu bahwa itu hanyalah tipu daya yang dilakukan kepada penontonnya atau jangan-jangan kita ada di dalam sela-sela bulu kelinci itu yang kebanyakan orang-orang terbawa oleh kelembutan bulu kelinci itu, namun para filosof telah berusaha memanjat helaian-helaian lembut bulu kelinci itu untuk menatap mata sang pesulap.
  para filosof  pra-Socratess sudah membicarakan dari mana asalnya bumi, Tales beranggapan bahwa segala sesuatu itu berasal dari air dengan alsan bahwa semua benda terdapat 75% kandungan air di dalamnya dan banyak lagi filosofi sezaman dengan Thales bahkan sesudah Thales seperti Pitagoras yang beranggapan bahwa sesuatu itu terbentuk dari partikel-partikel dimana partikel-patikel pertikel itu tidak bisa diciptakan dan tidak bisa dihancurkan.

 Sopie menemukan sedikit jawaban dari pertanyaan itu, namu di dalam hatinya selalu muncul pertanyaan yang semakin lama semakin membuat dia pusing sehinggahingga dia semakin tertarik dengan filsafat dengan tujun mendapat jawaban dari kebingungan-kebingungan yang dia dapatkan baik kebingun tentang realita-realita di sekitarnya yang dia anggap aneh, di setiap jawaban yang dia dapatkan selalu miuncul pertanyaan lagi hingga akhirnya sopie semakin mendalami filsat.