Kamis, 04 September 2014

kasus pelanggaran HAM yang terjadi di semanggi

Penyebab Tragedi Semanggi
            Perjuangan Orde Reformasi dimulai dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997. Dengan dipelopori mahasiswa, rakyat Indonesia mulai melawan ketidakadilan yang dilakukan Pemerintahan Orde Baru dan memperjuangkan demokratisasi di Indonesia.
            Pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi memberikan harapan bahwa demokratisasi telah dimulai. Namun patut disayangkan bahwa krisis ekonomi sejak tahun 1997 belum membaik. Begitu juga permasalahan penegakan hukum, keadilan, dan kepastian hukum yang masih jauh dari yang diharapkan masyarakat. Akibatnya, terjadi beberapa kali kesalahpahaman / bentrokan antara mahasiswa dan masyarakat dengan aparat pemerintah baik TNI maupun Polri serta terjadi peristiwa-peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Kesalahpahaman dan bentrokan yang terjadi telah mengakibatkan jatuhnya korban dari pihak mahasiswa serta masyarakat maupun TNI / Polri.
Peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat antara lain peristiwa Trisakti dan Semanggi I & II.
            Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J. Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPROrde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
            Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI karena dwifungsi inilah salah satu penyebab bangsa ini tak pernah bisa maju sebagaimana mestinya. Benar memang ada kemajuan, tapi bisa lebih maju dari yang sudah berlalu, jadi, boleh dikatakan kita diperlambat maju. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari dunia internasional terlebih lagi nasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mecegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan mahasiswa tak bisa dibendung, mereka sangat berani dan jika perlu mereka rela mengorbankan nyawa mereka demi Indonesia baru.


Peristiwa Semanggi
Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban luka-luka. Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa di kompleksTugu Proklamasi.
Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievakuasi ke Atma Jaya. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
Anggota-anggota dewan yang bersidang istimewa dan tokoh-tokoh politik saat itu tidak peduli dan tidak mengangap penting suara dan pengorbanan masyarakat ataupun mahasiswa, jika tidak mau dikatakan meninggalkan masyarakat dan mahasiswa berjuang sendirian saat itu. Peristiwa itu dianggap sebagai hal lumrah dan biasa untuk biaya demokrasi. "Itulah yang harus dibayar mahasiswa kalau berani melawan tentara".
Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta),Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala.

 Tragedi Semanggi II
Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa. Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB.
  
Kejahatan Berat
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Pengertian
Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) merupakan kejahatan yang sangat serius sehingga menjadi musuh umat manusia (hostis humanis generis). Dalam hukum internasional pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana terumus dalam kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan menurut hukum kebiasaan internasional maupun prisip-prinsip hukum umum. Praktik-praktik internasional menunjukan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan jus cogens.
Kejahatan demikian menimbulkan obligatio erga omnes (kewajiban masyarakat internasional seara keseluruhan) untuk mengadili dan menghukum pelaku kejahatan. Oleh karena itu, terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan berlaku prinsip yurisdiksi universal. Setiap negara dapat mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di manapun dan dilakukan oleh warga negara lain.
Disamping kebiasaan dan prinsip-prinsip hukum umum, kejahatan terhadap kemanusiaan sudah diterima dalam sebuah perjanjian internasional yaitu Statuta Roma mengenai Pengadilan Pidana Internasional. Sudah diterima secara internasional pula bahwa norma-norma di dalamnya merupakan kodifikasi dari hukum (pidana) internasional. Demikian pula di tataran nasional. UU Pengadilan HAM No.26/2000 (pasal 9) mengakui yurisdiksi pengadilan tersebut untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan.
Unsur penting dari kejahatan terhadap kemanusiaan adalah adanya serangan yang dilakukan secara sistematis (systematic) atau meluas (widespread) dan serangan itu ditujukankepada warga sipil. Tindak kejahatan inilah yang diduga terjadi pada kasus Trisakti, Semanggi dan II.

Prinsip Non-Retroaktif dalam Kejahatan terhadap Kemanusiaan
            Prinsip non retroaktif dalam hukum pidana tidak berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan karena alasan-alasan berikut ini:
1.        Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan dalam hukum kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum. Menurut kedua sumber hukum itu, orang yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan baik secacara commission maupun ommission dapat dihukum secara retroaktif.
2.        Pasal 15 (2) kovenan internasional mengenai hak-hak sipil dan politik memungkinkan pengecualian asas non retroaktif untuk kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan menurut prinsip-prinsip hukum umum.

Pertanggungjawaban Komando
            Pelaku tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dituntut dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab komando (command responsibility). Secara konseptual seorang komandan dapat dimintai pertanggungjawaban baik atas perbuatan pidananya karena langsung memberi perintah kepada pasukan yang berada dibawah pengendaliannya untuk melakukan salah satu atau beberapa perbuatan dari kejahatan terhadap kemanusiaan (by commission) maupun karena membiarkan atau tidak melakukan tindakan apapun terhadap pasukan dibawah pengendaliannya (by ommission). Pertanggungjawaban karena pembiaran dilakukan misalnya ketika komandan bersangkutan tidak melakukan upaya pencegahan perbuatan atau melaporkan kepada pihak berwenang agar dilakukan penyelidikan.
Prinsip Non-Retroaktif
Berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan hukum internasional yang diakui dan dihormati dalam hukum nasional prinsip non retroaktif tidak berlaku untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan.

 Fakta dan Pola Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Berdasarkan fakta-fakta, dokumen, keterangan dan kesaksian berbagai pihak, KPP HAM menemukan berbagai kekerasan yang pada dasarnya melanggar hak asasi manusia seperti pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, perkosaan, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilakukan secara sistematis serta meluas yang dilakukan oleh pelaku tertentu dengan sasaran masyarakat tertentu. Masyarakat tersebut secara khusus adalah mahasiswa maupun masyarakat yang berdemonstrasi terhadap kekuasaan politik untukmenuntut perubahan, termasuk terhadap rencana melahirkan UU PKB.
KPP HAM memusatkan perhatian pada tiga (3) rangkaian kejadian di sekitar kampus Trisakti 12-13 Mei 1998, di sekitar Semanggi 13-14 November 1998 (dikenal dengan peristiwa Semanggi I), dan pada 23-24 September 1999 (dikenal dengan Semanggi II). Meskipun kurun waktu terjadinya peristiwa tesebut berbeda, tiga rangkaian peristiwa ini tidak dapat dipisahkan dan dilepaskan dari kebijakan pemerintah dalam menghadapi gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat akan perlunya reformasi.
Kekerasan-kekerasan yang tidak manusiawi dan sangat kejam yang ditemukan dalam ketiga peristiwa itu mencakup tindakan-tindakan di bawah ini :
a.         Pembunuhan
Telah terjadi pembunuhan yang sistematis di berbagai daerah dalam waktu yang panjang, yaitu pada Mei 1998, Nopember 1998, serta September 1999. Tindakan pembunuhan itu dilakukan terhadap mahasiswa demonstran, petugas bantuan medis, anggota masyarakat yang berada disekitar lokasi demonstran, ataupun anggota masyarakat yang dimobilisasi untuk menghadapi demonstran. Pembunuhan serupa juga dilakukan dalam kerusuhan massa yang diciptakan secara sistematis sebagaimana terjadi di Jakarta dan Solo pada Mei 1998 (lihat laporan TGPF).
b.        Penganiayaan
Telah terjadi penganiayaan untuk membubarkan demonstrasi yang dilakukan sejumlah mahasiswa dan anggota masyarakat yang dilakukan oleh aparat TNI dan POLRI (dahulu disebut ABRI). Penganiayaan ini terjadi secara berulang-ulang di berbagai lokasi, seperti pada kampus Universitas Trisakti, dan Universitas Atmajaya, dan Semanggi yang mengakibatkan timbulnya korban fisik (seperti terbunuh, luka ringan dan luka berat) dan mental. Hal ini dikarenakan terkena gas air mata, pukulan, tendangan, gigitan anjing pelacak dan tembakan sehingga harus mengalami perawatan yang serius.
c.         Perkosaan atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara
Terutama pada Mei 1998, telah terjadi tindak kekerasan seksual termasuk perkosaan yang mengakibatkan sejumlah perempuan mengalami trauma dan penderitaan fisik dan mental. Trauma yang dialami sulit diatasi karena korban tidak berani tampil untuk menceritakan apa yang dialaminya.
d.        Penghilangan paksa
Pada bulan Mei 1998, telah terjadi penghilangan secara paksa terhadap 5 (lima) orang yang diantaranya adalah aktifis dan anggota masyarakat yang hingga kini nasib dan keberadaannya tidak diketahui. Dalam peristiwa ini, negara belum juga mampu menjelaskan nasib dan keberaan mereka.
e.         Perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik
Sebagai bagian dari tindakan kekerasan, dilakukan pula tindakan penggeledahan, penangkapan dan penahanan yang dilakukan secara sewenang-wenang dan melewati batas-batas kepatutan sehingga menimbulkan rasa tidak aman dan trauma. Perbuatan ini dilakukan sebagai bagian yang tidak terpisah dari upaya penundukan secara fisik dan mental terhadap korban.

Pemenuhan Unsur-unsur Kejahatan terhadap Kemanusiaan dan Tanggung Jawab Pidana
Serangan
Adanya serangan yang sistematis atau meluas terhadap warga masyarakat merupakan ciri utama dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Dari analisis terhadap ketiga rangkaian kejadian di atas disimpulkan bahwa telah terpenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan. Di bawah ini kami jabarkan analisis terhadap serangan beserta konsekuensi pertanggungjawaban pidananya.
Serangan yang dilakukan aparat TNI dan POLRI pada tiga rangkaian peristiwa tersebut sangat jelas bukan merupakan serangan dalam pengertian perang. Tetapi serangan dalam pengertian “suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi”, sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Penyerangan terhadap para demonstran pada ketiga peristiwa ini dan di daerah-daerah luar Jakarta tampak tidak terukur dan di luar batas-batas kewajaran (exesive use of force). Sebagaimana standar operasi pengendalian huru-hara penggunaan gas air mata, meriam air dan tembakan salvo memang dilakukan, akan tetapi penggunaan cara itu terutama senjata api dengan peluru karet atau tajam tetap harus dibatasi. Pada ketiga rangkaian peristiwa, para demonstran tak hanya dibubarkan dengan perangkat penghalau, tapi banyak yang diserang secara fisik, ataupun dianiaya, bahkan dalam beberapa kejadian terjadi pelecehan dan serangan seksual, yang menunjukkan operasi pengendalian itu di luar batas kewajaran. Setidaknya terdapat dua kasus penganiayaan (Semanggi I dan Semanggi II) yang dilakukan oleh pasukan pengendali demonstrasi sehingga mengakibatkan korban tewas.
Pola penyerangan yang terjadi di kampus Trisakti, di kampus Atmajaya (yang dikenal dengan peristiwa Semanggi I) dan di jembatan Semanggi (yang dikenal dengan peristiwa Semanggi II), juga terjadi di daerah-daerah lain akan tetapi tidak terbatas pada penyerangan di sekitar kampus IKIP Negeri Yogyakarta yang menyebabkan tewasnya Mozes Gatot Katja, seperti di Purwokerto, Lampung, dan Palembang.

Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II
Meskipun DPR RI telah merekomendasikan agar kasus Trisakti dan Semanggi I dan II ditindak lanjuti dengan Pengadilan Umum dan Pengadilan Militer, namun sehubungan dengan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat, tuntutan keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat, dan dalam rangka penegakan hukum dan penghormatan hak asasi manusia, dipandang perlu Komnas HAM melakukan penyelidikan dengan membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Maka dalam Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001 menyepakati pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II yang selanjutnya dituangkan dalam SK Nomor 034/KOMNAS HAM/VII/ 2001 tanggal 27 Agustus 2001.

Landasan Hukum
Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II didasarkan atas:
1.        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
2.        Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
3.        Keputusan Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001.
4.        Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 034/KOMNAS HAM/VII/2001 tanggal 27 Agustus 2001 tentang Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia peristiwa Trisakti, Semanggi I& II.

Tugas dan Wewenang
Tugas dan wewenang KPP HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II adalah :
1.        Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang terjadi dan kasus-kasus yang berkaitan
2.        Meminta keterangan pihak-pihak korban
3.        Memanggil dan memeriksa saksi-saksi dan pihak-pihak yang diduga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia
4.        Mengumpulkan bukti-bukti tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia
5.        Meninjau dan mengumpulkanketerangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu
6.        Kegiatan lain yang dianggap perlu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar